Minggu, 22 Juni 2008
Makam Sultan Yang Terlupakan
Mentari masih asyik dengan sinar panasnya. Begitupun, beberapa bocah, tetap larut dengan permainan bola kaki, di sebuah komplek Makam Sultan Iskandar Muda, di pusat Kota Banda Aceh. Terkesan, mereka tak begitu peduli dengan berbagai nisan makam yang ada tadi. “Selama libur sekolah, kami selalu bermain di sini,” ucap salah seorang anak, menjawab pertanyaan wartawan media ini sambil cengengesan.
Bisa jadi, tak pernah terbesit dipikiran mereka, bahwa areal tempat mereka bermain adalah komplek makam seorang raja Aceh yang sangat masyur di mata nasional bahkan Internasional. Dialah Sultan Iskandar Muda. Sultan yang oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 077lTK/Tahun 1993, tanggal 14 September 1993 diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Sayangnya, sampai saat ini belum diketahui secara pasti tahun berapa Sultan Iskandar Muda lahir. Dari hasil identifikasi atas beberapa sumber yang ada menegaskan. Sultan Iskandar Muda lahir sekitar tahun 1583 M. Namun tulisan dimakam sendiri tertulis pada tahun 1590 M. Ibunya keturunan keluarga Raja Darul Kamal (Malaka) bernama Puteri Raja Bangsa, yang juga dikenal dengan nama Paduka Syah Alam, puteri Sultan `Alaidin Ri'ayat Syah (1589-1604). Sultan `Alaidin Ri' ayat Syah adalah putera dari Sultan Firman Syah bin Sultan Inayat Syah. Ayahnya bernama Sultan Alauddin Mansur Syah putera dari Sultan Abdul Jalil bin Sultan `Alaiddin Ri' ayat Syah Al-Kahhar (1539-1571). Dengan demikian, dalam diri Sultan Iskandar Muda bercampur darah Malaka dan Aceh.
Pada masa bayinya, Sultan Iskandar Muda sering disebut Tun Pangkat Darma Wangsa. Dia dibesarkan dalam lingkungan istana, sehingga sejak masa kecil telah mengetahui bagaimana seluk beluk kehidupan adat dan tata kerama dalam istana. Baik dalam hal sopan santun antar keluarga raja maupun dalam urusan penyambutan tamu dan masih banyak hal-hal yang lain.
Sejak usia antara 4 dan 5 tahun, kepadanya telah diajarkan berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan agama dengan cara menghadirkan ulama sebagai gurunya. Teman-temannya yang lain juga diikutsertakan untuk belajar agama di dalam istana.
Dilihat dari sepanjang zaman perjalanan sejarah Aceh, hampir dari semua aspek kehidupan menunjukkan bahwa zaman Sultan Iskandar Muda, merupakan masa kejayaan Aceh. Dia tidak hanya mampu menyusun dan menetapkan berbagai konsep yang adil dan universal, tetapi juga mampu melaksanakannya secara adil dan universal pula.
Sebagai seorang yang masih sangat muda menduduki tahta kerajaan (usia 18-19 tahun), kesuksesan Sultan Iskandar Muda sebagai penguasa Kerajaan Aceh Darussalam, telah mendapat pengakuan bukan hanya dari rakyatnya, tetapi juga dari musuh-musuhnya dan bangsa asing di seluruh dunia.
Sultan Iskandar Muda telah berhasil mengatur seluruh aspek kehidupan sedemikian rupa dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Dia telah berhasil menyatukan seluruh wilayah semenanjung tanah Melayu di bawah panji kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam bidang ekonomi, dia telah berhasil menjalin hubungan diplomasi perdagangan dengan berbagai bangsa asing, sehingga secara internasional Aceh tidak hanya dikenal sebagai sebuah negeri yang kaya dengan berbagai sumber daya alam, tetapi kekayaan alam itu benar-benar dapat dinikmati secara bersama oleh rakyatnya.
Demikian juga dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan, dia telah menempatkan para ulama dan kaum cerdik pandai pada posisi yang paling mulia dan istimewa. Sehingga Kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dan tamddun di Asia Tenggara yang paling banyak dikunjungi oleh para kaum pelajar dari seluruh dunia. Oleh karena itu, para pembesar kerajaan bersama seluruh rakyat Aceh akhirnya sepakat memberikan sebuah gelar kehormatan Mahkota Alam kepadanya. Dengan demikian, ia mempunyai nama lengkap Paduka Seri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Selama lebih kurang 30 tahun (1606 -1636 M), Sultan Iskandar Muda telah berhasil membawa Kerajaan Aceh Darussalam ke atas puncak kejayaannya, hingga mencapai peringkat kelima diantara kerajaan Islam terbesar di dunia, setelah kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Persia dan Agra.
Namun sayang, jasa Sultan yang amat masyhur itu, kini terkesan tidak digubris lagi oleh generasi muda Aceh. Bukan hanya itu, perawatan pun, sebatas menjaga makam, bukan merawat hingga keaslian situs sejarah ini benar-benar terjamin.
Bangunan makam itu sendiri berdiri dengan 16 tiang penyangga yang setiap sisinya terdiri dari 4 tiang penyangga besar. Menurut masyarakat sekitar, sewaktu gempa bumi menerjang Aceh, bangunan makam tersebut sempat miring. Karena itu, salah satu tiang penyangga makam ditopang dengan sebuah papan.
Komplek Kandang Mas ini dulunya telah pernah dihancurkan oleh Belanda. Yang ada sekarang ini merupakan duplikatnya hasil petunjuk Pocut Meurah, isteri Sultan Mahmudsyah. Dia masih mengingat letak Makam Sultan Iskandar Muda, karena sebelum dihancurkan oleh Belanda. Dia pun sering berziarah ke sana sambil menghitung langkahnya sebanyak 44 langkah dari pinggir Krueng Daroy.
Di areal komplek makam yang sangat tidak terawat tersebut, makam Sultan Iskandar muda tak sendirian. Persis di depan makam tadi, terdapat sebuah areal pemakaman yang telah dipagar dan didalamnya terdapat beberapa makam. Menurut sejarah, mereka adalah, makam Putri Raja Anak Raja 1 Besar Bangka Hulu, Sultan Alaudin Mahmudsyah. Raja Perempuan Darussalam, dan makam Tuanku Zainal Abidin beserta makam keluarga Sultan lainnya. Dari areal pemakaman tersebut yang masih utuh hanyalah 8 makam, sisanya nyaris hanya seperti sebuah onggokan batu yang memang tidak berharga.
Bergeser kedepan, terdapat sebuah gedung yang bernama Gedung Juang. Persis di depan Gedung Juang tadi, pada tanggal 24 Agustus 1945, pernah terjadi penaikan bendera Merah Putih yang menyebabkan terjadinya insiden antara pemerintah Kolonial Hindia Belanda – Jepang dengan Rakyat Aceh. Sampai disini, tak dijelaskan siapakah yang memimpin perang kala itu. Dan bagaimana kejadian akhir dari peperangan tersebut. Bergeser ke sebelah kiri masih terdapat sebuah areal pemakaman yang juga masih keluarga dari Sultan.
Makam yang kondisinya tak jauh beda dari areal pemakaman sebelumnya ini persis berada didepan kantor ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) Orwil Nanggroe Aceh Darussalam. Makam tersebut terdiri dari makam Pocut Rumoh Geudong/Meurah Limpah/Pocut Lam Seupeung/istri nomor tiga, ibu nomor delapan. Makam Pocut Sri Banun Anak nomor tiga. Makam Sultan Alaudin Ibrahim Mansyur Syah, yang merupakan makam paling besar dari sekian banyak makam, lalu Makam Sultan Alaudin Muhammadsyah (1781-1795), Makam Sultan Husin Jauhar Al Alam Syah (1781-1795). Makam Putroe Bineu Ibu nomor lima. Makam Tuanku Husin Pangeran Anom nomor tiga (wakil kerajaan Aceh di Deli). Makam Tuanku Cut Zainal Abidin Ayah dari Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah II (1874-1903). Serta terakhir Makam Teungku Chik Kaka nomor tiga Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah yang mangkat di Jakarta pada tanggal 6 Februari 1939 di dalam Internerling (pengasingan) oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Ada satu makam yang menarik perhatian diantara makam yang lainnya. Yakni sebuah makam yang bangunannya telah dilapisi marmer putih. Bangunan ini terlihat sangat kontras dari makam-makam yang lainnya. Ini dikarenakan makam di sekelilingnya masih merupakan bangunan makam jaman dulu dan dibuat dari batu besar yang telah dipahat. Makam ini adalah milik Hajjah Neng Efi Binti Awal, janda almarhum Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah. Beliau lahir pada tahun 1906 di Jakarta dan meninggal pada tanggal 10 Desember 1985 di Banda Aceh. Hingga kini masih belum dijelaskan pada tahun berapa beliau datang ke Banda Aceh dan dimana ia tinggal karena ia adalah Janda dari seorang Sultan Aceh.***
Pernah dimuat di Tabloid Berita Mingguan Modus Aceh THN IV 2007